Senin, 03 Oktober 2011
Dan Wanita Tua Itu
Dan Wanita Tua Itu
Oleh Anggun Zarela
Ia menatapku pucat, dengan alunan angin yang menerbangkan helai-helai rambutku. Sedikit terpejam karena hembusan debu melewati mataku. Tatapannya masih hampa, seolah ingin memberitahukan padaku jika ia tak dapat melakukan apa-apalagi. Hujan masih temani kami berdua dalam ruang bumi yang luas. Di sebuah teras rumah usang, iya tepat dirumahnya.
Ia adalah seorang wanita yang kehilangan anaknya sejak dua puluh tahun silam. Pandangannya tanpa arah, tak ada yang ia pikirkan, seakan yang ada dipikirannya adalah anak perempuannya yang hilang entah kemana. Ia hilang ketika masih bayi setelah beberapa hari setelah kematian bapaknya, anak itu diberi nama Mawar, dan Mawar telah menjadi anak yatim sejak dua minggu usianya. Kini, wanita tua itu hanya bisa mengenang masa-masa menggendong bayinya itu, ia seperti orang gila.
Aku hanya dapat menangis mendengar kisah-kisah yang ia uraikan padaku. Sedangkan aku adalah gadis belia yang memberanikan diri untuk pergi ke sebuah perkampungan, dan saat itulah aku bertemu dengan wanita tua bernama Maryani. Sungguh iba aku melihat kejadian yang menimpa wanita tua itu.
Angin malam tetap hembuskan pancarannya. Dalam kesunyian yang bersembunyi dibalik gelapnya malam. Wanita tua itu telah tertidur lelap di kamarnya. Aku memandang wanita tua itu dengan tatapan yang pilu, alangkah ibanya melihat wanita tua ini yang kesepian menanti kehadiran anaknya yang telah lama hilang, kenapa juga harus dia yang merasakan itu.
Rupanya malam itu hujan turun dengan derasnya, menjatuhkan bulir-bulir tetesan air dari langit. Tuhan mengizinkan air itu turun untuk temani kesunyian malam. Bulu kudukku merinding karena aku tidur tanpa menggunakan selimut, tak ada yang bisa dilakukan disini. Iya, hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada. Aku masih terfikir dengan Ibu Maryani, ia seolah tak terganggu dengan dinginnya malam. Untung saja aku bisa tertidur dengan lelap.
Aku terbangun ketika ayam kembali berkokok. Sesaat aku mengingat dinginnya semalam. Tapi untungnya pagi itu hanya kabut-kabut air yang tersisa di rerumputan dan bayang-bayang langit. Hempasan alam seolah mengoyak jiwa, ketika aku melihat wanita tua itu kembali duduk termenung duduk di bawah pohon sebelah rumahnya. Aku hanya terdiam melihat sosoknya yang sendiri seperti orang gila.
“Ibu, jangan melamun disini! Ayo masuk!” ajakku pada Ibu Maryani.
Ia hanya memandangi wajahku tanpa sepatah katapun. Burung-burung berkicauan. Matahari seakan menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tapi ia tetap saja terdiam. Dengan usaha yang keras untuk mengajaknya masuk ke rumah. Akhirnya ia mau masuk ke dalam rumah denan bujukan-bujukanku.
Ia juga kembali beristirahat menenangkan pikirannya di dalam rumahnya. Sedangkan aku memutuskan untuk berkeliling desa, untuk mencari hiburan-hiburan di desa itu.
“Neng, mau kemana?” tanya seorang wanita padaku.
“Mau jalan-jalan Bu, cari hiburan,” jawabku dengan sopan sambil tersenyum.
“Neng ini siapa? Keliatannya baru disini?”
“Saya Melia Bu, saya sedang berlibur disini” jawabku singkat.
Rupanya ibu itu merupakan istri dari Kepala Desa disana. Aku sangat senang bisa berkenalan langsung dengan Ibu Kepala Desa, ia sangat ramah padaku. Ia baik, ia sopan, dan ia sangat menghormati tamu di desa itu.
Sempat-sempatnya aku bertanya tentang Ibu Maryani dengannya. Rupanya ia mengetahui semua yang terjadi pada wanita tua itu. Maryani memang banyak dikenal oleh warga di desa itu, walaupun ia tak pernah bencengkrama dengan warga. Semua warga iba melihat sosok Maryani yang selalu bungkam tentang dirinya. Apalagi sejak ia kehilangan anak satu-satunya.
Aku duduk di teras rumah Kepala Desa, sambil bercerita dengan istrinya tentang Ibu Maryani. Tentu saja, banyak sekali upaya untuk membantu Maryani menemukan anaknya yang hilang itu, tapi apa yang di dapat, upaya itu gagal, tak ada yang bisa membantu Maryani yang sepertinya mulai sakit jiwa. Mereka juga membawa Maryani ke rumah sakit jiwa di kota, dan memang Maryani di diagnosis telah mengalami gangguan jiwa. Sungguh hal yang sangat disayangkan.
Banyak sekali yang ia ceritakan padaku. Aku juga di ajak untuk mengelilingi desa, mengunjungi tempat-tempat yang dapat membuatku terhibur. Hari itu serasa bahagia sekali, karena aku bisa menikmati alam desa itu.
Sore harinya, ketika matahari turun ke ufuk barat, aku kembali menuju rumah Ibu Maryani. Aku ingin bercerita tentang semua yang terjadi padaku sepanjang hari itu, tapi apa yang aku dapatkan ia kembali melamun di belakang rumahnya. Aku tak ingin mengganggunya. Ku biarkan ia terdiam disana.
Tanpa sengaja malam itu aku membuka lemari di dalam kamar Ibu Maryani, dan apa yang aku dapatkan. Semua yang ada di dalam lemari itu adalah pakaian anaknya, Mawar ukiran nama di pintu lemari itu.
Sayangnya tak ada yang dapat ku temukan untuk membantu mencari anaknya yang hilang. (Bersambung……………..)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
1 komentar:
Ini merupakan karya sastra yang menarik, saya penasaran dengan cerita lanjutannya..
apa yang akan terjadi dengan wanita tua itu?
apakah ia akan menemukan anaknya atau tidak.
Dan bagaimana lanjutan kisah gadis itu membantu wanita tua menemukan anaknya..
Kita lihat saja nanti..:))
Posting Komentar