Kamis, 22 September 2011
(Mustafa) Batu Nisan Hitam Hadiah Untuknya
(Mustafa)
Batu Nisan Hitam Hadiah Untuknya
Oleh Anggun Zarela
Titik-titik embun pagi masih bertebaran diangkasa. Rasa dingin suhu pagi itupun tak terpungkiri. Setidaknya berjaga-jaga dengan dinginnya suhu pagi. Tak jelas memang, apalagi mengendarai motor, rasa dingin bagaikan menusuk bagian terdalam rogga tulang. Lampu-lampu kendaraan di paksa untuk hidup, karena embun pagi itu cukup banyak dan menutupi hampir permukaan jalan.
Mustafa hanya memandang sekeliling jalan, ia ragu karena hari ini merupakan hari kerja pertamanya. Ia adalah seorang lulusan universitas keguruan dalam bidang Sosiologi. Ia akan menjadi seorang guru di sebuah SMA ternama di daerah itu. Ia pendiam tetapi sangat ceria, ia sangat gemar melihat orang tersenyum. Karena ia juga hobi tersenyum.
Sampailah ia di sekolah itu, dengan senyum yang memancar dari wajahnya. Mustafa,S.Pd saat ia memperkenalkan dirinya dalam kelas. Senyumnya tetap terpancar walaupun banyak pertanyaan dari siswanya yang tak berkenan di hatinya. Jawaban-jawaban simple yang diberikan pada siswanya.
Lama sudah ia mengajar di sekolah yang membuat namanya terkenal itu. Ia dikenal sebagai guru yang sabar, dan selalu memberikan motivasi pada siswanya. Ia juga dikenal baik dengan siswanya. Senyumnya pun selalu dikenal oleh siswanya.
Hari itu, seorang siswa menemuinya dan meminta tolong padanya. Walaupun dia sebagai guru yang terbilang baru. Tapi, ia berniat baik membantu siswanya yang sedang kesulitan itu. Rupanya siswa itu, ingin meminta bantuan untuk mengajarkanya pelajaran Sosiologi kelas 12 sedangkan ia mengajar kelas 11. Ia dengan ikhlas memberikan pelajaran pada siswanya.
Hari-hari berlalu begitu saja. Setiap pagi ia selalu melewati jalan yang sama. Jalan yang biasanya tertutupi kabut pagi, suhu dingin yang terasa. Jalan yang mulai berlubang akibat saluran air jalan tersumbat, dan airnya meluap ke jalan. Sehingga setiap paginya ia harus ekstra hati-hati melewati Jl. KH. Sulaiman.
Selasa, para siswa kelas 11 IPS bersiap untuk ulangan sosiologi. Kembali mereka bertemu dengan Bapak Mustafa. Tak ada yang berani membuka buku, ataupun mencontek. Karena mereka sangat yakin dengan pelajaran yang telah diberikan oleh Bapak Mustafa. Setiap pelafalan kalimat-kalimat setiap babnya aka ada kata kunci, yang mudah diingat oleh siswanya. Cara mengajarnya yang unik, membuat ia disukai oleh siswanya sebagai guru teladan.
Ia menengok satu meja kosong tak ada siswanya. Ia bertanya-tanya dalam hati, kemana siswanya itu? Kenapa tak ada dalam kelas.
“Dona kemana?” tanyanya pada semua siswa. Mereka menoleh kearah Pak Mustofa.
“Ayahnya meninggal Pak tadi malam!” jawab seorang siswa. Sontak semua terdiam, dan mengelus dada. Banyak yang berkomentar atas alasan tak hadirnya Dona.
Dengan cepat Mustafa menyuruh siswa kelas itu diam, dan mengerjakan soal yang diberikan. Memang benar, hampir semua siswanya mendapat nilai diatas 90. Itu menjadi suatu kebanggaan dalam diri Mustafa. Ia bahagia dengan kesuksesan ulangan harian saat itu, tetapi yang lebih membuat ia sedih salah seorang siswanya tak mengikuti ulangan.
Sorenya ia datang ke rumah Dona, kembali ia melewati jalan itu, tetapi dengan keadaan berbeda, karena tak ada kabut, tak ada lampu kendaraan yang hidup. Senyumnya terpancar dibalik helm hitam. Ia datang dengan membawa secerca kejelasan dalam masalah yang dihadapi Dona. Memang benar ayah Dona telah meninggal akibat sakit yang lama diderita. Ia mendapat titik kejelasan dalam masalah itu, ia memberikan motivasi pada Dona.
“Nak, semua akan kembali pada tuhan. Kita sebagai manusia harus bersyukur dapat hidup dalam dunia ini. Jangan kecewakan Ayahmu. Kau harus tetap bersekolah, melanjutkan perjuangan orangtuamu. Buat mereka bahagia, buat ayahmu tersenyum disurga sana. Ia melihatmu Nak dari kejauhan,” ujarnya sambil mengelus kepala Dona.
Sempat-sempatnya ia datang kerumah Dona, hanya untuk memberikan motivasi dan semangat untuk seorang anak yang telah menjadi yatim. Ia senang jika siswanya dapat belajar dengan layak, dengan semua beban yang ada.
Pagi rabu, hujan deras datang melanda. Mustafa dengan semangat masih meneruskan perjalanannya menuju sekolah dengan menggunakan jas hujan khusus untuk pengendara motor. Walaupun jarak pandangnya hanya 15 m, ia semangat dan dengan senyumnya ia melaju melewati jalan yang becek dan basah.
Kembali ia melewati Jl. KH. Sulaiman, pagi ini ia melihat jelas seorang pembuat batu nisan membuat batu nisan berwarna hijau terang. Ia tersenyum memandangnya. Lalu ia berhenti di pondok tempat pembuatan batu nisan itu.
“Pak, numpang berhenti ya, hujan deras sekali!” ujar Mustafa.
“oo iya silahkan Pak, tidak masalah!” jawab pembuat batu nisan itu.
Mustafa hanya tersenyum sambil memandang sekelilingnya penuh dengan batu nisan yang telah selesai dibuat. Dengan berbagai macam warna, ukuran, bentuk, model. Lalu terbayang di benaknya bagaimana jika ia mati dan akan memakai batu nisan ini sebagai tanda di kuburannya. Ia kembali tersenyum, lalu terisak menangis. Entah apa yang membuat ia menangis , sampai ia memegang salah satu batu nisan berwarna hitam dan terhentak meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk pembuat batu nisan itu.
Sampailah di ruang guru, kembali ia tersenyum, teringat dengan kejadian yang barusan ia rasakan.
“Pak Mustafa, ini sudah jam masuk, dan Bapak mengajar diruang Sosiologi!” ucap salah seorang siswanya yang datang menemuinya.
Ia mengambil tas yang sudah basah karena tersiram hujan deras tadi, semua isinya basah. Siswa itu hanya memandanginya dengan tatapan iba. Termasuk telepon genggamnya pun rusak oleh air hujan. Senyum kembali terlihat dari mukanya, siswanya ikut tersenyum menandakan bahwa ia tak merasa kesulitan dengan masalah yang di hadapi.
Jejak-jejak kekosongan hati mulai mengisi hari-hari Mustafa. Ia juga tinggal sendiri dalam rumah yang di sewanya selama satu tahun itu. Makanpun terkadang ia beli, begitupun dengan kehidupannya, serba kekurangan. Tetap ia menjalani hidup dengan senyum dan semangat yang berkobar.
“Terimakasih tuhan atas segala rezeki yang kau beri untukku selama ini, dari mulai aku bayi hingga saat ini.” Ucap syukurnya pada tuhan saat merasakan kenikmatan dari tuhan.
Hampir empat tahun ia mengajar di SMA itu, dengan semangat setiap harinya ia merasa bangga saat memberikan ilmu pada siswanya. Kini ia tak lagi sebagai guru sosiologi, ia juga merangkap sebagai guru kewarganegaraan. Setiap ilmu yang ia berikan selalu cepat di serap oleh siswanya terbukti saat ulangan harian maupun semester selalu mendapatkan nilai yang sempurna. itulah yang membuat ia disenangi dan disayangi oleh siswanya.
Kembali ia melihat sosok tukang pembuat batu nisan yang setiap harinya ada duduk termenung di depan pondok itu. Klakson motornya selalu di berikan Mustafa untuk tukang pembuat batu nisan itu. Entah apa karena kebaikan tukang pembuat batu nisan itu karena bantuannya saat hujan deras saat itu. Walau Mustafa tak mengenal siapa tukang pembuat batu nisan itu.
Bayangannya selalu teringat dengan batu nisan hitam yang hanya ada satu-satunya di tempat itu. Mungkin ia menyukainya atau ada maksud lain di balik ingatannya itu. Jangankan batu nisan itu, bayangan tentang kematiannya selalu teriang di benaknya. Tetapi ia tak mau berlarut-larut dalam bayangan yang dapat membuat ia sedih itu.
Tugas banyak sekali yang ia berikan untuk siswa-siswanya. Tak ada yang salah memang, tapi entah mengapa ia memberikan tugas sebanyak itu untuk siswanya. Ada angin apa yang membuat Mustafa berubah, siswanya pun banyak bertanya-tanya tentang perubahan gurunya.
“Pak, kok banyak sekali tugas? Emang ada apa ya Pak?” tanya salah seorang siswanya.
“Tak ada anakku, ini hanya tugas bukan apa-apa! Bapak hanya ingin kalian membuat tugas ini, karena kalaupun Bapak akan mengajar pasti kalian tidak akan masuk pelajarannya!” jawabnya pelan.
Siswanya hanya mengangguk dan bergegas meninggalkan tempat itu. Tanpa alasan yang jelas Mustafa menjadi sosok yang berubah, tidak seperti guru yang pernah dikenal oleh siswanya. Sebagai guru yang baik, seharusnya ia memberikan ilmu yang sesuai untuk siswanya. Tetapi entah mengapa, semua jadi berubah seketika.
Hari makin berlalu, perubahan sikap Mustafa semakin terlihat jelas. Ia lebih suka memberikan tugas dan menyuruh siswanya mencatat di buku, ketimbang ia menjelaskan satu persatu. Ia juga jarang masuk ke kelas. Para siswanya telah kesal dengan perubahan sikap gurunya itu. Sampai pada akhirnya Mustafa menyadari kesalahan yang ia perbuat.
Permintaan maaf pun telah diberikan Mustafa untuk para siswanya atas kesalahan yang sengaja ia lakukan. Semua itu khilaf, dan ia lakukan tanpa sadar. Entah apa yang membuatnya berubah drastis.
Kembali ia melewati jalan pulang yang selalu sama dengan sebelum-sebelumnya. Seperti itu memang, semua harus ia jalani. Malam itu, dirumahnya Mustafa merasa tidak enak badan. Tubuhnya serasa keringat dingin, dan suhu badannya mulai panas. Detak jantungnya kian cepat, sembari ia mengingat kesalahan yang ia perbuat di sekolah beberapa waktu yang lalu.
Ia terlelap tidur, dalam bayang-bayang aneh. Ia kembali bermimpi tentang kematiannya. Mimpi buruknya itu, membangunkan ia dari tidurnya. Dengan sigap ia mengambil wudhu, dan melakukan sholat tahajud, sembari meminta penjelasan dari yang maha kuasa tentang pertanda apa ini semua.
Sepertinya malam itu adalah malam terpanjang yang ia lalui. Ia memberikan catatan untuk para siswanya, di buku agenda miliknya. Selain itu ia telah mempersiapkan soal-soal ulangan, dan mengoreksi hasil ulangan yang lalu. Semua ia kerjakan dengan cepat.
Ia juga membersihkan rumahnya, merapikan pakaiannya serta menulis sebuah artikel tentang kematian seorang manusia. Sepertinya, ia merasakan hal yang janggal pada hidupnya kini, ia juga menulis dalan tulisan itu tentang keinginannya untuk memiliki nisan hitam ketika ia meninggal kelak. Semua ia tulis dengan serinci-rincinya, sampai bulir-bulir air mata membasahi pipinya.
Esoknya ketika ia akan berangkat menuju tempat ia mengajar, ia pergi dari rumah agak terlambat. Kemungkinan ia akan sampai di sekolah itu kesiangan. Pakaiannya sangat rapi, tapi kali ini ia tak menggunakan jaket seperti biasa. Tak lupa ia membawa buku agenda dalam tas yang disandangnya.
Sampai di jalan yang biasa ia lalui, pikirannya mulai tak tenang. Tiba-tiba motor yang ia kendarai, ditabrak oleh mobil truk yang melaju dengan sangat cepat. Otomatis ia terpental jauh dari tempat kejadian, hingga tubuhnya sampai di pondok tempat pembuatan batu nisan yang pernah ia jadikan tempat peneduh ketika hujan. Mustafa tak dapat merasakan apa-apalagi. Yang ia rasakan tubuhnya seakan terbang melayang di udara, dengan kerikil-kerikil batu menghujam wajahnya. Air bagaikan mengaliri seluruh tubuhnya. Yang berupa cairan darah yang mengucur deras dari tubuhnya.
Pemilik pondok itu dengan sigap membantu Mustafa yang sudah bercucuran darah. Motor yang ia kendarai sudah tak tahu kemana arahnya. Mustafa lalu mengeluarkan buku agenda dalam tasnya, dan menunjukkannya pada pemilik pondok itu yang diketahui bernama Udin.
Hingga keramaian menjumpai tempat kejadian, dan membantu Mustafa yang telah sekarat. Tapi, sayangnya ketika di perjalanan menuju rumah sakit, nyawanya sudah tak terselamatkan lagi. Ia meninggal dengan wajah senyum manisnya. Dan Udin yang memegang buku agenda milik Mustafa saat itu, membaca lembaran-lembaran dalam buku itu. Guru-guru yang mengajar ditempat yang sama dengan Mustafa juga membaca buku itu, dan mereka terkejut dengan tulisan-tulisan yang ada dalam buku itu.
Seorang guru bernama Mulyadi sampai menangis membaca setiap lembaran terakhir buku itu, apalagi tulisan yang ditulis tadi malam oleh Mustafa. Mustafa telah meninggal. Ia disemayamkan dirumahnya, keluarganya bagai tak menerima kenyataan pahit tentang kematian Mustafa.
Mustafa juga di makamkan di Tempat Pemakaman Umum di daerah tinggalnya. Berbondong-bondong siswanya melayat Mustafa. Tangisan haru tak terbendungi. Semua direlung duka. Mereka tak sanggup kehilangan sosok Mustafa yang baik dan ramah pada siapa saja. Rasa bersalah juga di rasakan siswanya. Serta keanehan yang dilakukan Mustafa beberapa waktu lalu, menandakan ia akan pergi jauh. Dan tak lupa setelah 40 hari kematiannya, Udin menghadiahkan permintaan terakhir Mustafa yang ingin memiliki batu nisan hitam di makamnya.
Batu nisan hitam serta kematian Mustafa, memberikan sesuatu tentang kejelasan kematiannya. Bahwa Mustafa telah merasakan ia akan dipanggil Sang Khalik, dan memiliki batu nisan seperti apa yang ia inginkan. Jiwanya telah pergi.***
Anggun Zarela, September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar