Kamis, 25 Agustus 2011
Bisu Tanpa Suara, Hati Selalu Bersama Untukmu Adikku*
Bisu Tanpa Suara, Hati Selalu Bersama
Untukmu Adikku*
Alunan petikan gitar usang dengan lantunan suara yang sedikit cempreng riuh gemuruh terdengar. Di atas bus Kopaja yang biasanya ku naiki setiap aku akan berangkat kesekolah. Bus yang biasa ugal-ugalan ini selalu membuatku datang tepat waktu, mungkin itu sedikit alasannya mengapa kendaraan ini selalu berlaku seperti itu. Teringat jelas saat aku masih duduk di SMA. Apalagi ketika pulang sekolah, hal yang sangat menarik untuk tidak dilewatkan.
Sebenarnya aku tak biasa untuk menaiki kendaraan umum seperti ini, tetapi karena aku tak ingin merepotkan orangtuaku. Aku juga terlahir dari keluarga yang mapan, ayahku mempunyai bisnis yang cukup berkembang, sedangkan ibuku mempunyai bisnis pesan antar makanan. Aku baru lulus dari SMA Negeri Bunga Bangsa, dan kini aku menikmati masa libur panjang.. Dirumahpun, aku mempunyai seorang adik kecil yang lucu bernama Pertiwi.
“Donita, bantu Ibu sini!” jerit Ibu dari dapur untukku.
Dengan sigap aku membantu ibu untuk mempersiapkan pesanan makanan orang yang akan mengadakan acara pernikahan. Tak banyak yang dapat ku lakukan, ya tapi hitung-hitung aku telah membantu Ibu.
Adikku, merupakan orang yang paling ku sayangi dirumah. Biasanya ayah dan Ibu sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tapi itu tak membuat kami kekurangan kasih sayang. Karena kami selalu diberikan perhatian lebih oleh ayah dan ibu.
Pertiwi sangat gemar bermain di bawah pohon mangga di depan rumah. Dia juga sangat gemar melukis, itu merupakan hal yang sama denganku. Pertiwi masih berusia 6 tahun. Ia selalu membuat aku tertawa, kapanpun bersamanya. Tapi sayangnya, sampai saat ini dia belum bisa berbicara sepatah katapun. Kata dokter ia mengalami kebisuan permanen. Itulah yang membuat aku sedih.
Tetapi, lewat bahasa isyarat aku banyak mengerti apa yang ia katakan. Ia selalu menggunakan media lukisan untuk menggambarkan isi hatinya. Ayah dan Ibupun mendukung apa yang kami berdua lakukan, semasih itu bersifat positif.
Minggu pagi yang cerah, Ayah mengajak kami jalan-jalan ke sebuah tempat pemancingan di kota. Sayangnya, Tiwi menolak ajakan Ayah. Aku juga menolak karena pastinya Tiwi tak ada yang menemani dirumah. Akhirnya hanya Ayah dan Ibu yang berangkat kesana. Aku teringat pengamen kecil di bus Kopaja yang ku temui beberapa hari yang lalu. Ia memberikanku pelajaran tentang makna kehidupan yang abadi.
Tiwi kembali menarikku ke bawah pohon mangga depan rumah, dengan membawa segala perlengkapan untuk melukis. Aku tak dapat menolak, aku mengikuti kemauan Tiwi. Ia mengajakku untuk melukis harapan kedepan, aku tersenyum simpul. Anak sekecil ini sudah bisa berfikir kearah masa depan. Tiba-tiba yang terlintas dipikiranku adalah bermain bersama Tiwi di sebuah tempat pemakaman. Aku hanya mengikuti naluri hatiku. Ketika selesai, aku terkejut dengan apa yang ku buat. Tiwi menoleh kearahku, sambil menunjuk dan mempertanyakan apa yang ku maksudkan. Aku sendiripun tak tahu apa yang ku lukis, hanya senyum dan memeluknya yang dapat kulakukan. Aku tak ingin kehilangan adikku yang paling kusayang.
“Ya Allah, lindungilah adikku dimanapun Ia berada, aku sangat menyayanginya, jangan Kau ambil dia dari hidupku!” pintaku pada Allah.
Selama menikmati masa liburan, aku menghabiskan waktu selalu bersama Tiwi. Aku tak ingin berpisah darinya. Mungkin kedua orangtuaku telah mengetahui kalau aku sangat menyayangi Tiwi lebih dari segenap jiwa.
Tiba-tiba, hal yang tak kuinginkan hadir. Tiwi mengalami sakit keras, ia masuk rumah sakit dikota. Aku sangat sedih dengan kejadian ini. Panas dibadannya tidak kunjung sembuh. Dokter pun tak bisa mendiagnosis penyakit yang diderita Tiwi. Aku tak ingin kehilangan adik yang kusayangi.
Aku kembali kerumah dengan raut muka yang kusut. Masih teringat Tiwi terbaring lesu diatas kasur rumah sakit. Aku benar-benar bingung dengan hal yang menimpa Tiwi. Tuhan punya jalannya masing-masing. Mungkin saat ini kami tengah dihadapkan dengan masalah yang sangat pelik. Tapi apa boleh buat, ini semua harus dijalani dengan sabar, dan penuh keikhlasan.
Terdengar kabar, kalau Tiwi mengidap penyakit kangker otak yang lumayan parah. Aku mencoba untuk tegar mendengar kabar itu. Ibu mengelus rambutku, aku masih saja menangis. Kata dokter pun, Tiwi tak akan bertahan lama hidup di dunia ini. Itulah yang membuatku makin terpuruk dalam kesedihan yang ada.
` Angin masih berhembus dengan pelan, matahari masih menampakkan cahayanya. Bintang masih setia menemani malamku. Biasanya setiap malam, Tiwi selalu masuk kamarku. Ia bercerita dengan bahasa isyarat yang tak banyak aku mengerti. Terbayang bagaimana rasanya jika Tiwi pergi jauh dariku, aku tak ingin semua itu terjadi.
“Nak, keluar dari kamar. Ayo Donita keluar gih!” cetus Ibu dari luar kamarku.
Aku hanya diam membisu. Aku tak ingin menemui orang terlebih dahulu, aku ingin menenangkan diri. Tapi apa mau di kata, Ibu tetap memaksaku. Dia kembali menenangkan hatiku. Kembali menyejukkan hatiku, yang sempat rapuh karena akan kehilangan adik kesayanganku. Dia pun mengajakku ke rumah sakit untuk menjenguk Tiwi.
Mataku kembali berlinang ketika melihat adik kesayanganku harus berada diruang ICU, aku tak ingin kehilangan sosok Tiwi. Yang pasti aku akan merasa benar-benar kehilangan. Wajahnya yang pucat pasih membuatku meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. Teringat masa-masa bersama di bawah pohon mangga depan rumah, selalu menjadi kenangan manis kami berdua. Selama detak jantungnya masih berdetak, selama itulah aku akan menjaganya. Mumpung masa liburan belum usai. Banyak yang aku harapkan jika nantinya Tiwi tersadar dari tidurnya.
Malam kian larut, aku duduk terpaku di dekat tubuh adikku. Sedangkan Ayah dan Ibu berada dirumah, karena kami bergiliran untuk menjaga Tiwi. Aku mengelus tangan Tiwi, aku kembali menangis dan berharap Tiwi akan tersadar dari tidurnya.
Dua hari berlalu, ia masih saja belum sadar. Kami sekeluarga khawatir dengan hal ini. Apa yang harus kami perbuatpun, tidak tahu. Tim dokter pun tak bisa melakukan apa-apa. Hanya harapan besar untuk tuhanlah semua ini kami serahkan.
Hari itu adalah hari yang sangat mengecewakan bagi kami sekeluarga. Tiwi telah dipanggil yang mahakuasa. Aku tak bisa menerima hal itu, aku mencoba untuk membangunkan Tiwi, tetapi semuanya hanya sia-sia. Ia tak kunjung bangun, dokter hanya mengelus pundakku. Menyuruhku untuk tegar menghadapi ini semua.
“Tiwi, jangan tinggalkan kakak! Bangun Dek, bangun!! Cepat bangun Dek!!” jeritku sambil menangis, memegang tangan Tiwi yang telah tak bernyawa lagi.
Ibu menarik tanganku, mencoba untuk memelukku. Tapi gagal, aku berhasil melepaskan pegangan Ibu. Aku tak ingin kehilanganTiwi, aku tak bisa menerima semua itu. Malam kian larut, hujan kian deras. Mataku pun kian sembab, hatiku tertambat pada adik kecilku yang kusayangi.
Dalam mobil ambulance pun aku tetap terpaku menangis, benar-benar merasa kehilangan adikku. Saat pemakaman Tiwi aku merasa dirudung duka. Ketika selesai pemakaman Tiwi. Dan dipasanglah, sebuah kayu nisan, bernama Pertiwi Zansyiwa. Aku tetap tak ingin makam itu. Aku tak ingin pergi jauh dari Tiwi. Tiwi harus tetap bersamaku, harus dan harus. Ya, apa mau dikata, Ia tak mungkin lagi bersamaku.
Akhirnya dengan paksaan Ayah dan Ibu aku pulang kerumah. Dengan rasa yang berat hati, aku tak ingin melepaskan Tiwi dari genggamanku. Suasana duka masih menyelimuti keluarga kami, tapi kami mencoba untuk tegar dalam menjalani semua ini, mungkin ini sudah suratan takdir sang ilahi.
40 puluh hari setelah meninggalnya Tiwi. Setiap aku melihat lukisan yang pernah dibuat almarhum semasa hidupnya aku meneteskan air mata. Sampai aku teringat lukisan masa depan yang pernah ku buat dengan Tiwi. Aku masih mencari-cari lukisan itu, sulit sekali, sampai aku menemukannya di bawah tempat tidur Tiwi. Aku sontak terkejut ketika melihatnya. Lukisan itu adalah gambar pohon mangga di depan rumah, dengan aku dan dia didalamnya. Sesuatu yang mengganjal adalah sebuah ukiran di batang pohon itu. Aku segera berlari ke bawah pohon mangga, dan apa yang kutemukan adalah ukiran yang sama persis didalam lukisan itu.
“ Tiwi sayang Kakak” ukiran itu terlihat jelas. Kembali aku meneteskan air mata, yang kali ini serasa mengoyak hati. Sayangnya ia tak lagi bersamaku. Kehilangan orang yang paling kusayangi, orang yang selalu ada untukku.
Aku harus melepaskan kenangan itu, kenangan bersama adik kesayanganku. Seorang adik yang terlahir dengan kebisuan permanen, dan kepintarannya melukis.
“Semoga kau tenang disana sayang. Dalam alam yang akan abadi disana,” harapku dalam hati.
*Anggun Zarela
Agustus, 2011
Ingin Ku Berjilbab
Subuh yang dingin dan sejuk bagi Lara. Aku segera mengambil wudhu,dan menjalankan shalat subuh. Setelah itu, ku bersiap belajar persiapan ulangan di sekolah nanti. Aku bernama Lara,saat ini aku berusia 17 tahun. Dan swaat ini, aku dudduk di kelas XII IPA 1, di sebuah SMA Negri di Palembang.
Pagi itu,aku berangkat ke sekolah.Dengan senyumku yang khas aku menuju ke sekolah. Lalu, masukalah aku ke dalam kelas. Setianya, Selvi teman sebangku ku yang sangat baik,alim dan muslimah. “Assalamualaikum” sapaku dengan senyum ke Selvi. “ Walaikummusallam” jawab Selvi. Memang Selvi adalah seorang gadis yang sangat soleha, dan alim, ketimbang diriku. Dia cantik dan berjilbab. Serta aku pun, menghargainya sebagai teman yang solid.
Seiring waktu berjalan, sore pun kami tetap bersemangat belajar. Dan akhirnya bel pun berbunyi.. Tetapi, tanda bel meng-instruksikan untuk kami menerima apel. Dan ya, pengumumannya adalah Kami libur satu minggu untuk menunggu siswa/siswi kelas X STUDY TOUR.
Mendengar instruksi yang diberikan kepada kami. Aku dan Selvi pun tersenyum kecut, tak mau menerima jika kami tidak belajar dan bertemu.
Esoknya, aku dan Selvi bermaksud bertemu di sebuah took buku. Aku sangat iri melihatmelihat Selvi yang selalu di pandang orang sebagai wanita muslimah. “ Apa aku tidak?” pikirku dalam hati. Dan aku hanya terdiam membisu.
“ Ra, kok kamu bengong gitu sih?” sapa Selvi kepadaku. “ Ah,biasa banyak pikiran. Hahahaha .” Jawab ku sambil bercanda. “ Em cerita aja lagi kok kamu pendem dalam hati, ntar sakit loh” bisiknya padaku. Hanya aku membalas dengan senyuman.
Tiga hari setelah libur sekolah. Selvi mengajakku menginap dirumahnya selama dua hari. Aku pun tak menolaknya. Sesampai di rumah Selvi, aku berdecak kagum. Saat aku bertemu dengan ayah dan bundanya, yang sangat baik dan perhatian kepadaku. Pantas saja anknya sangat alim, baik dan muslimah. Tidak seperti Papa dan Mama ku yang selalu mementingkan pekerjaan ketimbang aku.
“Sayang, cepat kesini kita sholat magrib berjamaah” panggil bunda Selvi. “ Jangan lupa ajak Lara” tambah ayah Selvi. Tak lama aku dan Selvi menemui ayah dan bunda Selvi. Lalu kami pun shalat berjamaah. Setelah shalat, ayah Selvi memberikan ceramah kepadaku ,bunda Selvi, serta Selvi mengenai Jilbab.
Pagi harinya, aku mengajak Selvi bercerita mengenai BERJILBAB yang dibahas oleh ayahnya tadi malam. “ Sel, sebenarnya enak nggak sih pake jilbab?”. Awalnya Selvi senyum-senyum, lalu ia menjawab “ Ra, kita umat muslim musti menunjukkan identitas kita. Kita pakai jilbab nggak salah kok. Apalagi ini menyangkut masalh menutup aurat. Dan kita harus mencoba itu.”
“ Tapi Sel… aku belum siap “ tambahku. “ Lara, siap nggak siap itu urusan belakangan. Intinya dari sini ( sambil menunjuk dadaku). Niat Ra… itu aja kok” ujarnya.
“ Sel, ingin sekali rasanya aku berjilabab. Ingin aku di pandang sebagai wanita muslimah. Dan inin sekali aku berubah menjadi anak yang soleha sepeti mu” lirihku sambil menangis.Selvi hanya tersenyum dan berkata “ coba aja jika kamu ingin Ra. Nggak susah kan?.” Aku hanya mengangguk.
Sepulang dari rumah Selvi. Aku bercerita ke Mama tentng apa yang ku inginkan. Dan mama pun menyerahkan segala keputusan kepadaku.Hari terakhir libur, aku meminta Selvi menemaniku ke Mall untuk membeli keperluanku untuk berjilbab.
Esok harinya, dimana mulai bersekolah lagi, aku pun telah merubah penampilanku dan memberikan image wanita muslimah. Akhirnya keinginanku terwujudkan. Dimana aku telah memakai jilbab, dan dipandang orang sebagai muslimah serta aku telah menjalankan salah satu perintah Allah SWT.
Pagi itu,aku berangkat ke sekolah.Dengan senyumku yang khas aku menuju ke sekolah. Lalu, masukalah aku ke dalam kelas. Setianya, Selvi teman sebangku ku yang sangat baik,alim dan muslimah. “Assalamualaikum” sapaku dengan senyum ke Selvi. “ Walaikummusallam” jawab Selvi. Memang Selvi adalah seorang gadis yang sangat soleha, dan alim, ketimbang diriku. Dia cantik dan berjilbab. Serta aku pun, menghargainya sebagai teman yang solid.
Seiring waktu berjalan, sore pun kami tetap bersemangat belajar. Dan akhirnya bel pun berbunyi.. Tetapi, tanda bel meng-instruksikan untuk kami menerima apel. Dan ya, pengumumannya adalah Kami libur satu minggu untuk menunggu siswa/siswi kelas X STUDY TOUR.
Mendengar instruksi yang diberikan kepada kami. Aku dan Selvi pun tersenyum kecut, tak mau menerima jika kami tidak belajar dan bertemu.
Esoknya, aku dan Selvi bermaksud bertemu di sebuah took buku. Aku sangat iri melihatmelihat Selvi yang selalu di pandang orang sebagai wanita muslimah. “ Apa aku tidak?” pikirku dalam hati. Dan aku hanya terdiam membisu.
“ Ra, kok kamu bengong gitu sih?” sapa Selvi kepadaku. “ Ah,biasa banyak pikiran. Hahahaha .” Jawab ku sambil bercanda. “ Em cerita aja lagi kok kamu pendem dalam hati, ntar sakit loh” bisiknya padaku. Hanya aku membalas dengan senyuman.
Tiga hari setelah libur sekolah. Selvi mengajakku menginap dirumahnya selama dua hari. Aku pun tak menolaknya. Sesampai di rumah Selvi, aku berdecak kagum. Saat aku bertemu dengan ayah dan bundanya, yang sangat baik dan perhatian kepadaku. Pantas saja anknya sangat alim, baik dan muslimah. Tidak seperti Papa dan Mama ku yang selalu mementingkan pekerjaan ketimbang aku.
“Sayang, cepat kesini kita sholat magrib berjamaah” panggil bunda Selvi. “ Jangan lupa ajak Lara” tambah ayah Selvi. Tak lama aku dan Selvi menemui ayah dan bunda Selvi. Lalu kami pun shalat berjamaah. Setelah shalat, ayah Selvi memberikan ceramah kepadaku ,bunda Selvi, serta Selvi mengenai Jilbab.
Pagi harinya, aku mengajak Selvi bercerita mengenai BERJILBAB yang dibahas oleh ayahnya tadi malam. “ Sel, sebenarnya enak nggak sih pake jilbab?”. Awalnya Selvi senyum-senyum, lalu ia menjawab “ Ra, kita umat muslim musti menunjukkan identitas kita. Kita pakai jilbab nggak salah kok. Apalagi ini menyangkut masalh menutup aurat. Dan kita harus mencoba itu.”
“ Tapi Sel… aku belum siap “ tambahku. “ Lara, siap nggak siap itu urusan belakangan. Intinya dari sini ( sambil menunjuk dadaku). Niat Ra… itu aja kok” ujarnya.
“ Sel, ingin sekali rasanya aku berjilabab. Ingin aku di pandang sebagai wanita muslimah. Dan inin sekali aku berubah menjadi anak yang soleha sepeti mu” lirihku sambil menangis.Selvi hanya tersenyum dan berkata “ coba aja jika kamu ingin Ra. Nggak susah kan?.” Aku hanya mengangguk.
Sepulang dari rumah Selvi. Aku bercerita ke Mama tentng apa yang ku inginkan. Dan mama pun menyerahkan segala keputusan kepadaku.Hari terakhir libur, aku meminta Selvi menemaniku ke Mall untuk membeli keperluanku untuk berjilbab.
Esok harinya, dimana mulai bersekolah lagi, aku pun telah merubah penampilanku dan memberikan image wanita muslimah. Akhirnya keinginanku terwujudkan. Dimana aku telah memakai jilbab, dan dipandang orang sebagai muslimah serta aku telah menjalankan salah satu perintah Allah SWT.
Anggun Zarela
Rabu, 24 Agustus 2011
In:
k
Untukmu Pelajar
Tunjukkan bahwa kita sebagai PELAJAR mampu untuk berkarya dalam bidang tulisan entah itu Cerpen, Puisi, Karya Ilmiah, maupun yang lainnya..
Sedikit banyak pelajar, mengatakan bahwa menulis itu agak susah. dalam pengarangan cerita. Tetapi, kita sebagai pelajar mampu berimajinasi lebih untuk mendapatkan tulisan dan karangan yang menarik dan patut untuk dibaca.
Kembangkan kemampuan membaca kalian, maupun kemampuan menulis kalian.. Good Luck ya kawann.:)
Sahabatku Jadi Musuh Dalam Selimut
Dua minggu yang lalu, masih sempat ia bercanda dan bermain dengan teman akrabnya sejak TK. Kini mereka berdua telah berusia 16 tahun, cukup lama menjalin hubungan pertemanan satu sama lain. Anggapan bahwa mereka telah menjadi saudara telah ada, ketika mereka duduk di bangku SD.
Mereka berdua selalu bersama, duduk sebangku ketika SD. Selalu bermain, bercanda, tertawa, cerita, dan semuanya biasa dilakukan bersama. Kalaupun mereka lagi bertengkar, paling sebentar satu menit.
Enjela adalah salah satu dari mereka, ia cantik berbakat dan pintar. Hobinya membuat orang tertawa, kesal, cenderung cerewet, dan suka minta maaf. Sedangkan yang satunya bernama Melindah, ia juga cantik, punya bakat, tak kalah dengan Enjela, ia juga orang yang pemaaf.
Mereka mempunyai bakat di bidang yang sama, yaitu menari. Bakat ini telah ada ketika mereka masih TK hingga kini. Dua minggu lalu, Enjela masih sempat bercanda dengan Melindah. Tak khayal itu yang membuat mereka tertawa, di samping permasalahan hidup yang mereka hadapi. Enjela yang memang mudah dekat dengan siapa saja, ia juga mudah mendapatkan pemilik hati. Lain halnya dengan Melindah yang setia dengan pacarnya, tetapi ia masih bersikap kekanak-kanakan.
Masalahnya bermula dari Vero yang merupakan pacar dari Melindah. Mereka telah menjalin hubungan selama satu tahun lebih, maka dari itu mereka telah mengerti satu sama lain. Melindah dan Enjela berbeda sekolah, begitu juga dengan Vero. Tetapi dengan kemajuan zaman, di era globalisasi seperti ini, lewat handphone saja orang sudah bisa berinteraksi satu sama lain.
Vero yang diam-diam sering memperhatikan Enjela, saat menjemput Melindah setelah pulang latihan. Enjela tidak mempermasalahkan hal itu, karena dia menganggap semuanya teman.
“Njel, lihat Melin ga? Kok dia ga ada ya? Apa sudah pulang duluan?,” tanya Vero saat menjemput Melindah yang sudah pulang duluan.
“Ga tau tuh,” cetus Enjela karena pusing dengan banyak pertanyaan.
Tiba-tiba Vero meminta Enjela agar ikut dia pulang. Tetapi, Enjela menolak karena dia merasa tidak enak dengan Melindah. Vero tetap memaksa dan akhirnya Enjela ikut pulang dengan Vero.
Rupanya, Melindah ada dibelakang motor yang dikendarai oleh Vero. Enjela memandang wajah Melindah. Raut mukanya berubah marah, sinis dari sorotan matanya tak dapat dipungkiri. Tetap saja, Vero melanjutkan laju motornya di alur jalan raya.
Beberapa hari kemudian, Enjela kembali bertemu dengan Melinda. Kembali ia terima senyum kebencian dari Melindah, ia terima lagi tatapan sinis dari Melindah. Usaha Enjela meminta maaf atas kesalahannya kemarin, tidak di gubris oleh Melindah. Seakan tetap optimis, ia tetap berusaha meminta maaf atas kelancangannya menuruti ajakan Vero kemarin. Akhirnya Melindah luluh dengan permintaan maaf Enjela. Persahabatan mereka kembali seperti sedia kala.
Semakin lama persahabatan yang sempat di terpa oleh badai angin itu telah kembali seperti semula. Enjela merasa senang dengan keadaan saat itu, mereka telah kembali lagi. Persahabatan yang telah dibina selama beberapa tahun itu kembali bersatu.
Masalah kedua kembali datang menerpa persahabatan mereka. Vero kembali mendekati Enjela. Alasannya simple karena ingin curhat (curahan hati) tentang masalah hubungannya dengan Melindah. Banyak SMS dan telepon dari Vero untuk Enjela selalu diabaikannya. Karena ia rasa, ia tidak mempunyai hak untuk membalas sms dari Vero.
Rasa tidak enak mulai muncul di benak Enjela, dia merasa tidak enak karena tidak mendengarkan cerita curahan hati dari Vero tentang masalahnya dengan Melindah. Maka dari itu, saat Vero menghubunginya, Enjela mendengarkan dengan teliti setiap kalimat yang keluar dari mulut Vero. Entah apa yang dipikirkan Enjela, tanpa sadar ia dengan cemat peduli terhadap keadaaan yang terjadi pada hubungan Vero dan Melindah.
Sekian lama, ia mendengarkan curahan hati seorang pacar temannya, ia juga merasa iba dengan keadaan yang kini di hadapi oleh hubungan Vero dan Melindah. Selama satu minggu lebih ia dekat dengan Vero karena alasan yang yang memang menurutnya perlu.
Masalah baru datang lagi, Vero dan Melindah telah berbaikan, Vero tak bercerita soal baiknya hubungan mereka dengan Enjela. Malam itu, Handphone Enjela kembali berdering, rupanya ia kembali menerima SMS dari Vero. Sempat ia mengira tak ingin membalas SMS tersebut, tiba-tiba saat ia membaca isinya.
“Astaghfirullahaladzim,” ucap Enjela sambil mengelus dada.
Ia sontak terkejut membaca SMS yang isinya adalah menghina dan mencaci maki Enjela. Ia tak percaya aka nisi sms yang benar-benar membuatnya sakit hati itu. Tapi ia mencoba untuk tetap tegar dan sabar menghadapi semua yang terjadi pada dirinya. SMS yang ia terima berupa kalimat-kalimat marah dan benci dari Vero. Katanya ia tak mau lagi mengganggu Enjela, dan begitupun Enjela diminta untuk jangan mengganggu mereka. Padahal sudah jelas-jelas ia tidak mengganggu hubungan Vero dan Melindah, ia hanya ingin membantu mendengarkan dan member solusi dari curahan hati seorang Vero.
“Shit, semua serba salah! Padahal Enjel punya niat baik dengerin ceritanya dia. Kok malah Enjela yang disalahin atas semua ini. Enjel janji ga mau kenal lagi dengan mereka!,” cetusnya marah karena kesal dengan sms yang isinya mencaci maki dirinya itu.
Hari berlalu dengan begitu saja. Sedikit demi sedikit Enjela mulai dapat melupakan hal yang telah membuat ia malu dan sedih. Hari rabu, saat Enjela kembali latihan di sanggar tari bersama teman-temannya yang lain termasuk Melindah.
Ia berusaha untuk meminta maaf dengan Melindah atas kejadian yang sempat terjadi beberapa waktu yang lalu. Tapi usaha itu gagal begitu saja. Ia tak mendapatkan respon dari Melindah. Setiap pertemuan dengan Melindah, ia selalu berusaha meminta maaf, tapi apa yang di dapat, ia sama sekali tak di gubris oleh Melindah. Tetap ia tak berputus asa, di tiap kesempatan kata minta maaf selalu datang dari mulutnya. Kembali ia terima perlakuan yang sama dari Melindah.
Di lain waktu, saat Enjela belajar mengerjakan PR dari sekolahnya. Hp nya kembali bergetar, ia tak mengenal nomor yang masuk menghubunginya.
“Halo, ini siapa ya?,” tanya Enjela dengan nada bingung.
“Masa ga kenal? Ini Vero, Vero, Njel,” jawabnya dengan nada serius.
“Oh, kamu? Ngapain nelpon? Ada perlu? Ada yang bisa gua rusak lagi hubungannya?,” tanya Enjela sedikit menyinggung. Sejenak Vero terdiam dan membisu dengan telepon yang masih tersambung.
“Mmm, maaf Njel soal yang itu. Gua ga tahu. Gua minta maaf ya, jangan salah paham dulu ya! Biar gua jelasin!,” jawab Vero gugup.
“Stop! Stop! Ga usah jelas-jelasin yang ga penting bagi gua! Apa yang mau Lu jelasin lagi ke gua? Not Important, you know! Ga usah ganggu gua lagi! Gua ga mau punya masalah yang ribet kayak gini, hanya karena Lu,” ujar Enjela dengan nada marah.
“Jangan gitu lah, please jangan marah ya? Gua emang salah,” lirih Vero.
“Ya, ya, ya terserah Lu aja lah. Gua ga mau punya masalah sama sahabat gua sendiri, gua ga mau bertengkar sama sahabat yang udah lama kenal, hanya karena Lu! Hanya karena cowok tengil kayak Lu,” jawab Enjela sambil marah-marah. “Udah ya gua matiin aja telepon yang ga penting ini, Bye,” sambung Enjela lalu mematikan telepon itu.
Hari berlalu begitu saja, Vero masih berusaha menghubungi Enjela yang sudah jelas-jelas tidak mau berhubungan baik dengannya. Tetapi usaha Vero tidak sia-sia, Enjela akhirnya memaafkan kesalahan Vero, tetapi itu tidak sepenuhnya. Karena ia yakin, Melindah masih salah paham dengan apa yang terjadi saat itu.
Mencoba menghadapi hari dengan senyuman. Enjela memulai hubungan yanga baik dengan Vero. Tak khayal, ini kesempatan yang baik bagi Vero untuk mendekati Enjela dengan alasannya yang beragam.
Suatu ketika, saat Enjela dan Melindah mengikuti sebuah acara pemilihan putera dan puteri terbaik di daerahnya, mereka berdua satu tim dalam mengisi tarian. Sukses besar, dengan apa yang mereka lakukan.
Masalah yang sama kini mulai datang. Enjela sering mengirim SMS yang dikirimnya ke semua kontak telepon di handphonenya. Tak sadar, ia juga mengirimkan SMS itu ke Vero. Enjela tak tahu, bahwa HP Vero di pegang oleh Melindah. Esoknya, ia menerima SMS dari Melindah yang menggunakan nomor HP Vero. Rasa sakit yang ia rasakan saat membaca SMS singkat yang kata per kata yang sungguh menyakitkan. Ia berusaha meminta maaf kembali atas kesalahan yang ia telah perbuat. Enjela juga menjelaskan semua yang terjadi antara ia dan Vero, meminta Melindah agar tidak salah paham atas kejadian yang terjadi antara mereka bertiga, tetapi tetap saja semua sia-sia.
Tegar, satu kata yang ia lakukan saat itu. Enjela sadar, mungkin kini saatnya ia melepaskan seorang sahabat yang telah ia kenal bertahun-tahun. Seorang sahabat, seharusnya memaafkan kesalahan satu sama lain. Bukan menjadi musuh dalam selimut, apalagi permasalahan itu bermula dari kekasih hati yang baru menemani dirinya. Salah besar percaya terhadap sahabat, dan Enjela yakin suatu saat ketika semua hilang, rasa sahabat, rasa persatuan satu sama lain kembali. Hanya keyakinan yang ia pegang, berharap semuanya akan kemabali seperti sedia kala.
Anggun Zarela, 3 May 2011.
Penantian Akhir Sampai Ku Mati (Nessiza Syandara)
Panas terik matahari dari ufuk timur telah hadir pagi ini, pegal-pegal di badan masih terasa. Kulihat jam di dinding telah menunjukan pukul tujuh kurang lima belas menit.
“Ya tuhan, aku kesiangan lagi,” jeritku dari atas kasur.
Mulai aku berlari menuju kamar mandi yang jaraknya tak jauh dari kamarku. Mandi ala bebek telah biasa aku lakukan jika kesiangan seperti ini. Kembali kulihat jam telah menunjukan pukul tujuh tepatnya, dengan cepatnya aku mengambil motor di garasi mobil. Ssstttt.. sampailah aku disekolah dengan kecepatan 70 km/jam, dengan pandangan yang masih buram kulihat gerbang sekolah belum tertutup rapat, secepat kilat aku berlari menuju ruang kelas tempatku belajar.
“Huppt.. untung aja nggak kesiangan beneran,” lirihku dalam hati.
Kembali ke suasana di rumah yang tak menguntungkan bagiku. Orangtuaku yang sibuk dengan bisnisnya membuatku benar-benar merasakan kurang merasakan kasih sayang. Apalagi semenjak Papa dan Mama bercerai, semuanya hancur berantakan. Aku yang mempunyai adik perempuan juga terpisahkan.
Sedih memang, dan benar-benar kurang beruntung masalah yang ku hadapi. Tetap tegar dengan semua ini, dan percaya ada satu keajaiban dalam masalah ini. Hanya ada pembantuku di rumah, tetapi aku masih saja merasakan kesepian dan aku cenderung berdiam diri di dalam kamar.
Brmmm.. brmmmm.. suara mobil Papa sudah pulang. Tak ada senyum dari wajahnya, tak ada pertanyaan yang keluar dari bibirnya untukku. Ya, aku memang seorang anak laki-laki yang harusnya tak bersikap cengeng dengan semua ini. Hari-hariku memang seperti ini, paling hanya Asih pembantuku yang selalu membangunkan aku dari tidur pagiku.
Sepertinya malam ini, Papa tak akan keluar dari kamarnya, biasanya ia lelah dengan pekerjaannya. Ku coba untuk mengerti dengan semua yang di rasakan oleh Papa, apalagi ia kini menjadi single parent, setelah di tinggal oleh Mama. Rasa rindu pada Mama dan adikku memang tengah ku rasakan. Tak ada yang menghiburku dengan canda, tawa, dan perhatian pun kurang untukku.
Setiap malam aku berdoa pada tuhan, agar semuanya berubah seperti dulu, serta berharap tuhan akan mengabulkannya. Terlihat jelas di atas balkon rumahku seorang gadis cantik memakai baju merah terang, dengan balutan jilbab yang rapi. Aku tersenyum melihat gadis itu, diam-diam ia kuperhatikan sedang membagikan souvenir bagi pengguna kendaraan roda dua.
“Cantik,” satu kata yang keluar dari bibirku.
Ia benar-benar cantik dari pada gadis-gadis lain yang ada di sekitar itu. Aku beranjak turun dari balkon, menuju teras bawah untuk melihat jelas gadis berbusana serba merah itu. Ketika aku sampai di teras, tak ada lagi gadis itu, rasa kecewa muncul karena aku tak berhasil memandang dari dekat wajah gadis itu.
Masih terbayang wajah samar-samar gadis berbaju serba merah itu. Banyak pertanyaan yang keluar dari bibirku tentang gadis itu, aku benar-benar penasaran dengan gadis yang membuatku jadi aneh seperti ini. Hari berlalu begitu saja, aku masih tetap saja bangun kesiangan setiap paginya. Entah sudah kebiasaan atau bagaimana, aku tetap saja bangun tak pernah pagi.
Ketika sosok gadis berbaju merah yang pernah terlihat dari atas balkon itu masuk ke dalam kelas ku, aku benar-benar terkejut, karena ia telah menjadi siswa baru di dalam kelasku. Aku terus saja memandanginya, senyumnya manis, dan balutan jilbabnya yang cantik dengan nama Nessiza Syandara. Nama yang benar-benar sesuai dengan gadis cantik itu.
Entah ada angin apa yang membuat aku menjadi sosok yang semangat menjalani hidup, seperti pada masa kebersamaan keluargaku dulu. Aku selalu bangun pagi, mengerjakan tugas sekolah dengan baik, dan kini aku tak terlalu perduli dengan sikap Papa yang tetap seperti itu padaku.
“kok, kamu berubah ya? Nggak kayak Weeldan yang gua kenal,” bisik temanku karena melihat perubahanku.
“Ya, Weeldan Wintara Wesa kembali bersemangat hidup!” jawabku dengan lepas.
Ia hanya tersenyum melihat tingkahku yang aneh, tak seperti aku yang dulu. Kini hidupku benar-benar bersemangat, walau aku terlahir dengan keluarga yang tak harmonis, ya Broken Home. Semuanya berlalu begitu saja, ketika Nessiza Syandara hadir di hidupku. Ia membuatku berubah menjadi manusia yang lebih menghargai hidup, bersemangat menjalani hidupku yang penuh dengan penderitaan dan kurang kasih sayang dari orang tua.
Ingin rasanya aku mengungkapkan rasa sayang terhadap gadis berjilbab merah yang pernah ku temui. Selama dua tahun lebih aku satu kelas dengan Nessiza, setiap hari aku dapatkan senyumnya yang manis dengan cara bicaranya yang sangat santun. Namun, tetap saja aku tak dapat mengungapkan rasa yang menggebu-gebu dalam hati. Aku harus bilang apa terhadapnya? Aku sendiri bingung dengan keadaan yang kini ada di jalan hidupku.
Papa juga tetap pada sikapnya yang acuh tak acuh padaku, tanpa senyum dan bicara padaku. Tanpa sadar kini aku duduk di kelas Dua Belas. Selama 730 hari lebih aku mengenal Nessiza. Masa menjadi anak sekolah pun berakhir sudah, ini artinya aku juga akan berpisah dengan Nessiza dengan rasa yang masih belum terungkap.
Sudah dua bulan aku tak pernah lagi melihat senyum dari wajah kemayu Nessiza. Biasanya, setiap hari aku selalu melihat wajahnya dengan penuh ceria. Masih teringat di benakku, karena aku tak pernah berbicara dengannya.
Aku kembali jenuh dengan hidupku sekarang, tak ada yang membuatku bersemangat dalam hidup. Walaupun, aku akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Aku meneruskan pendidikan di Universitas Negeri di tempat tinggalku. Harapanku untuk berjumpa lagi dengan Nessiza sangatlah besar, tapi aku kurang yakin dengan harapanku yang akan jadi sia-sia saja.
Aku kembali jenuh dengan hidupku sekarang, tak ada yang membuatku bersemangat dalam hidup. Walaupun, aku akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Aku meneruskan pendidikan di Universitas Negeri di tempat tinggalku. Harapanku untuk berjumpa lagi dengan Nessiza sangatlah besar, tapi aku kurang yakin dengan harapanku yang akan jadi sia-sia saja.
“Ya tuhan, pertemukanlah aku dengan gadis cantik berbaju merah saat itu,” pintaku sambil membayangkan wajah Nessiza.
Selama bertahun-tahun penantianku akan kehadiran Nessiza di hidupku sangatlah besar. Sampai aku telah mendapatkan gelar S1 dan bekerja di sebuah perusahaan asing. Hidupku tetaplah hidupku, tetap menanti gadis baju merah bernama Nessiza Syandara.
Tiba-tiba aku melihat seseorang yang benar-benar ku kenal, kembali ia memakai busana serba merah. Ketika ia berbalik badan di café itu, ia tersenyum memandangku.
“Nessiza,” lirihku sambil mengelus dada.
“Weeldan, apa kabar?” sapanya lembut untukku.
“Baik, dan benar-benar baik. Nessiza sendiri bagaimana?”
“Baik, dan benar-benar baik. Nessiza sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja,” jawabnya sambil menggendong seorang anak kecil.
Rasa penasaran dengan anak yang di gendongnya tadi masih menjadi tanda tanya besar dalam batinku. Usiaku kini 30 tahun, aku masih saja melajang sebagai Perjaka Tua. Setelah aku mencari tahu tentang anak yang di gendong Nessiza saat itu adalah anaknya, rupanya Nessiza sudah menikah dengan laki-laki lain yang kini dikaruniai seorang anak perempuan.
Kecewa memang, bertahun-tahun aku menanti sosok Nessiza Syandara, dan kini ia telah bersama laki-laki lain sebelum aku mengungkapkan rasa yang sangat besar terhadapnya. Aku menghela nafas panjang sembari duduk diatas sofa lembut yang baru aku beli kemarin. Sedikit demi sedikit perabotan di rumah baru ini sudah terisi, tetap bersyukur atas karunia tuhan, walau sekarang aku belum bisa membuka hatiku untuk wanita lain. Rasa sayangku tetap pada satu wanita yaitu Nessiza Syandara. Seorang wanita yang telah membuatku berubah bersemangat hidup dan bangkit dalam dunia keterpurukan Broken Home.
Sudah hampir 20 tahun aku menempati rumah ini dengan kesendirian, usiaku yang sudah tua telah mencapai 50 tahun, dan tetap saja aku belum mempunyai seorang pendamping hidup yang menemani hari-hari kosongku. Hatiku yang tak akan pernah mati untuk Nessiza Syandara, wanita yang telah ku kenal lebih dari 34 tahun, sejak 16 tahun usiaku saat itu. Senyumnya pun masih terbayang-bayang, manakala rasa sepi menghantuiku, tapi aku yakin kini ia bahagia dengan suami dan keluarganya.
Usiaku sudah tak muda lagi, dan pada akhirnya aku kembali bertemu dengan Nessiza, di tempat pemakaman terakhirnya. Aku meneteskan air mata, dan aku yakin aku akan kembali hidup bersamanya di suatu hari kelak. Cintaku tak akan pernah mati untuk wanita yang membuatku cinta mati, Nessiza Syandara.
Anggun Zarela, May 11, 2011